untuk artikel selanjutnya, aku buat sendiri kok. tetep baca ya....
When I Miss You
Judul Cerpen When I Miss You
Cerpen Karangan: Hilda Sicylia Safitri
Cerpen Karangan: Hilda Sicylia Safitri
Jari-jari kokoh itu terus menekan setiap tuts piano di depannya. Mengalunkan sebuah nada indah yang siapa saja mendengarnya akan terhipnotis. Aku berjalan mengikuti alunan suara indah itu, yang aku yakini berasal dari ruang musik dan lelaki itu yang memainkannya.
Sejenak aku terdiam di depan pintu ketika dia terfokus ke piano di hadapannya itu. Aku melangkah mendekatinya, sampai aku berada tepat di belakangnya. Entah dorongan dari mana, aku menyentuh bahu lelaki itu sambil tersenyum. Dia menoleh ke arahku dan senyum indah menghiasi wajahnya. Senyum yang sejak kecil aku sukai. Senyum hangat yang menenangkanku dikala aku gelisah. Senyum lelaki itu. Tatapan matanya mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahnya. Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya. Dia tersenyum dan kembali bermain bersama nada indah itu.
Sejenak aku terdiam di depan pintu ketika dia terfokus ke piano di hadapannya itu. Aku melangkah mendekatinya, sampai aku berada tepat di belakangnya. Entah dorongan dari mana, aku menyentuh bahu lelaki itu sambil tersenyum. Dia menoleh ke arahku dan senyum indah menghiasi wajahnya. Senyum yang sejak kecil aku sukai. Senyum hangat yang menenangkanku dikala aku gelisah. Senyum lelaki itu. Tatapan matanya mengisyaratkan aku untuk duduk di sebelahnya. Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya. Dia tersenyum dan kembali bermain bersama nada indah itu.
Dia sahabat kecilku, cinta kecilku. Cinta yang mungkin hanya aku yang merasakannya. Kami saling mengenal sejak saat kecil. Bundaku dan ibunya berteman baik. Dia mengajarkanku bermain piano. Dan sekarang kami sama-sama duduk di bangku SMA. Aku tahu itu tandanya aku akan segera berpisah dengannya. Karena dia akan melanjutkan pendidikannya di negeri seberang.
Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Dia menoleh sebentar lalu berhenti memainkan piano di depannya. Tanpa sadar air mataku yang sedari tadi aku tahan tumpah begitu saja. Dia menatapku seakan tahu bahwa aku tidak sanggup untuk kehilangannya.
“Kau kenapa? Kau tidak boleh menangis, Hil. Aku masih disini, bersamamu” ucapnya seraya tersenyum.
“Aku tahu sekarang kau masih disini, tapi lusa? Kau akan pergi jauh dariku, Zan. Aku takut kau melupakanku” ucapku parau. Dia masih tersenyum.
“Kau ini bicara apa? Kau sahabatku, mana mungkin aku melupakanmu? Sudah sekarang kita ke kantin. Aku lapar.” Ajaknya setengah memaksa. Dia menggenggam tanganku, membawaku ke kantin sekolah. Tidak sedikit mata-mata itu menatapku iri. Bagaimana tidak? Lelaki yang kini menggandeng tanganku ini adalah idola perempuan di sekolah ini. Mereka menganggap aku dan lelaki ini sebagai sepasang kekasih, namun kenyataannya kami hanya bersahabat.
“Kau kenapa? Kau tidak boleh menangis, Hil. Aku masih disini, bersamamu” ucapnya seraya tersenyum.
“Aku tahu sekarang kau masih disini, tapi lusa? Kau akan pergi jauh dariku, Zan. Aku takut kau melupakanku” ucapku parau. Dia masih tersenyum.
“Kau ini bicara apa? Kau sahabatku, mana mungkin aku melupakanmu? Sudah sekarang kita ke kantin. Aku lapar.” Ajaknya setengah memaksa. Dia menggenggam tanganku, membawaku ke kantin sekolah. Tidak sedikit mata-mata itu menatapku iri. Bagaimana tidak? Lelaki yang kini menggandeng tanganku ini adalah idola perempuan di sekolah ini. Mereka menganggap aku dan lelaki ini sebagai sepasang kekasih, namun kenyataannya kami hanya bersahabat.
Cuaca minggu pagi ini seakan mewakili hatiku. Matahari bersembunyi di balik awan-awan yang kian menghitam. Angin bertiup dengan lembutnya. Aku hanya terdiam di balik jendela kamarku, menikmati sentuhan angin yang membelai wajahku. Aku menoleh dan berjalan ke arah meja yang berada di dalam kamar saat handphoneku berdering mengalunkan nada River flows in you – Yiruma. Kutatap layar handphoneku nama ‘Ma best’ tertera disana. Lalu kusentuh tmbol hijau dan terdengar suara lelaki itu.
“Halo, hil? Kau sedang sibuk? Aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita bertemu di cafe biasa?” tanyanya beruntut.
“Halo, hil? Kau sedang sibuk? Aku ingin bertemu denganmu. Bisakah kita bertemu di cafe biasa?” tanyanya beruntut.